Kamis, 16 Februari 2017

Ternyata Rata-Rata Umur Manusia Sekarang Hanya 1,5 Jam Saja

Mungkin kita sering mendengar ada orang yang mengatakan, "Tak terasa ya waktu berlalu begitu cepat . Dulu kita masih sekolah, eh sekarang sudah punya anak." dan ungkapan-ungkapan lainnya yang semisal dengannya.

Memang pada hakikatnya kehidupan dunia ini sangatlah singkat. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun dan seterusnya. Kalau kita hitung memang kelihatannya sangat lama, namun setelah kita jalani ternyata tidak terasa sudah sekian waktu berlalu begitu cepat.

Namun, pernahkah kita berfikir tentang waktu versi akhirat? Apakah di akhirat juga punya satuan waktu? Samakah waktu versi akhirat dengan waktu versi dunia?
Jawabannya adalah "iya", akhirat juga punya versi waktu tersendiri. Tetapi waktu versi akhirat berbeda dengan versi dunia.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَن يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ ۚ وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ.
(الحج : 47)
Artinya:
"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu."
(QS. Al-Hijr: 47).

Di dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan, " Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu". Kalau kita hitung secara matematika, maka:
1.000 tahun di Dunia = 1 hari di Akhirat
1.000 tahun di Dunia = 24 jam di Akhirat
Jadi, 1 tahun di Dunia = 0,024 jam di Akhirat.

Rasulullah shallallahu ’alayhi wa sallam telah bersabda:
ﺃَﻋْﻤَﺎﺭُ ﺃُﻣَّﺘِـﻲ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺴِّﺘِّﻴْﻦَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﺒْﻌِﻴْﻦَ ﻭَﺃَﻗَﻠُّﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﺫَﻟِﻚَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut” (HR. Ibnu Majah: 4236, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih).

Kalau kita kalikan dengan rata-rata umur manusia akhir zaman, yaitu berkisar antara 60 - 70 tahun, misalnya kita ambil umur 63 tahun, maka:
63 tahun di Dunia = 1,512 jam di Akhirat, atau bisa kita bulatkan menjadi 1,5 jam.
Berarti bisa kita simpulkan bahwa rata-rata umur manusia umat Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam menurut versi Allah 'Azza wa Jalla adalah sekitar 1,5 jam saja. Cukup singkat, bukan?

Allah berfirman:
قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ ( ) قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ ( ) قَالَ إِن لَّبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَّوْ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ( )
(المؤمنون : 112-114)
Artinya:
"Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?"
Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung".
Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"
(QS. Al-Mu'minun: 112 - 114).

Maka kita sebagai seorang muslim hendaklah bijaksana dalam memanfaatkan umur kita di dunia ini. Jangan sampai kita mengorbankan kehidupan akhirat yang kekal demi mengikuti hawa nafsu dan meraih kenikmatan dunia yang fana ini. Ingatlah, dunia hanya sebentar dan akhirat adalah kekal abadi. Dunia adalah tempat kita singgah untuk mencari bekal, dan suatu saat nanti kita akan dipanggil pulang kembali ke kampung halaman kita yaitu akhirat.

Wallahu A'lam.

Pontianak, 18 Jumadil Awwal 1438H / 15 Februari 2017.

(Abu 'Abdillah, Eka Fitriansyah ibnu Sunardi).
BACA SELENGKAPNYA

Rabu, 15 Februari 2017

Ketika Sendiri Selalu Diawasi

Ketika Sendiri Selalu Diawasi

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ) قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا ، جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ ، قَالَ : ( أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا ).
Terjemah Hadits:
“Dari Tsauban dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam Beliau bersabda, ‘Sungguh aku beritahukan tentang beberapa kaum dari umatku yang datang di hari kiamat membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya seperti debu yang beterbangan.
Tsauban bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah gambarkan mereka kepada kami! Jelaskanlah kepada kami siapa mereka agar kami tidak termasuk mereka dalam keadaan kami tidak mengetahuinya. Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Adapun mereka itu adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalian serta menghidupkan malam hari seperti kalian menghidupkannya. Namun mereka adalah kaum-kaum yang apabila menyendiri (tidak ada yang melihatnya) mereka melanggar larangan-larangan Allah.”
(Riwayat Ibnu Majah)

Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya, Kitab az-Zuhud, Bab Dzikrudz-Dzunub, 2/1418 no. 4245. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Silsilah ash-Shahihah no. 505.

Penjelasan Hadits:
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam menekankan perlunya menguatkan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keadaan dan waktu) dan menanamkannya dalam jiwa setiap muslim. Kekuatan muraqabah inilah yang menjaga seseorang muslim dari melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun sedang bersendiri tidak dilihat oleh manusia.
Hadits ini berisi ajakan yang cukup jelas dan tegas kepada kita untuk menanamkan dan menumbuhkan sikap muraqabah dan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keadaan sehingga sikap-sikap ini tertanam dan terpatri dalam jiwa kita semua.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam menggambarkan kepada kita keadaan beberapa kaum yang datang di hari kiamat kelak dengan membawa kebaikan yang sangat banyak sampai-sampai menyerupai butiran pasir yang putih sebesar gunung Tihamah di Yaman. Tapi sayang Allah ‘Azza wa Jalla tidak menghiraukan itu semua dan menghancurkan semuanya bagaikan debu yang beterbangan. Rahasianya tidak lain karena mereka bila tidak dilihat manusia dan dalam keadaan sendiri melanggar larangan-larangan Allah ‘Azza wa Jalla tanpa merasa takut dan malu kepada-Nya. Semua larangan Allah mereka terjang dan langgar ketika sepi dan tidak dilihat orang. Ini semua agar dijadikan pelajaran dari kisah ini sebelum terlambat dan terperosok ke dalam lubang tersebut.

Pelajaran Hadits:
1. Pentingnya menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita dengan mengambil sarananya, di antara sarananya adalah:
a. Memperbaiki pemahaman agama dan berusaha menjadikan aqidah kita serupa dan sama dengan aqidah Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabatnya.
b. Meyakini dengan sempurna bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu dalam semua keadaan.
c. Meyakini dengan sempurna bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan menghisab semua amalan kita baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.

2. Menyucikan jiwa, di antara caranya adalah:
a. Terus-menerus disiplin dan sinambung melaksanakan ketaatan baik yang bersifat wajib maupun sunnah.
b. Komitmen dengan jama’ah dan hidup bersamanya.
c. Mencari teman yang baik dan shalih.

3. Selalu mawas dan merasa diawasi Allah dalam segala kondisi dan keadaan.
4. Urgensi kisah dalam memantapkan makna kehidupan dalam jiwa dan mengokohkannya.
5. Harus menjaga kebaikan-kebaikan dan berusaha menjauhi larangan Allah ‘Azza wa Jalla.
6. Bahaya melanggar larangan Allah walaupun tidak ada yang melihatnya.

Wallahu a’lam

(Ustadz Kholid Syamhudi, Lc)

Disalin dari Majalah Elfata edisi 11 volume 10 Tahun 2010 dengan sedikit perubahan.
BACA SELENGKAPNYA

Senin, 13 Februari 2017

Adab Dalam Berkomunikasi di Media Sosial


ADAB DALAM BERKOMUNIKASI DI MEDIA SOSIAL

Pertanyaan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bagaimana kita menyikapi media sosial yang semakin mudah memberikan kabar ke teman atau saudara? Sehingga memungkinkan kita untuk berkomunikasi kepada lawan jenis. Padahal kita berkomunikasi hanya bermaksud memberi kabar kost teman-teman lama.
جَزَاك اللهُ خَيْرًا
(Dari Umi Ma'rifah di Taiwan Anggota Grup WA Bimbingan Islam T06 G58)

Jawab:

Medsos adalah sarana yang dapat digunakan untuk sesuatu yang mubah, dapat pula untuk sesuatu yang bernilai ibadah, maupun untuk maksiat.

Bila medsos digunakan untuk hal-hal yang tujuannya mubah, seperti komunikasi dengan bahasa yang sopan (tidak genit), maka hukumnya mubah. Hanya saja, penggunaan medsos tetap perlu dibatasi agar tidak berlebihan dalam yang mubah, sehingga bergeser kepada yang dilarang.

Intinya, perhatikan poin-poin berikut:

1. Siapa yang akan diajak berkomunikasi? (mahram atau bukan). Kalau mahram, maka tidak mengapa. Tapi kalau bukan, maka batasi dan seperlunya saja.

2. Gunakan bahasa yang jelas dan tidak genit. Karena tulisan hukumnya sama dengan ucapan. Kita dilarang berkomunikasi dengan selain mahram, kecuali dengan nada bicara yang tegas dan tidak genit (merangsang syahwat lawan jenis).

3. Jangan share berita tentang amal shalih kita, karena ini mengundang sifat riya’ (ingin pamer), dan ini bisa membatalkan pahala amal kita.

4. Jangan berlebihan dalam berkomunikasi via medsos, namun sebatas yang diperlukan saja.

5. Jangan share foto-foto pribadi agar tidak disalahgunakan.

6. Jangan share foto orang lain, kecuali dengan seizinnya dan demi kemaslahatan syar’i (Contoh: men-share foto saudara kita yang jadi korban suatu musibah, atau yang sedang terbaring di Rumah Sakit, dan semisalnya).

Karena setiap muslim punya harga diri dan kehormatan yang tidak boleh dilanggar, dan tidak setiap orang ridha foto dirinya dalam kondisi tertentu disebarluaskan, karena ini bisa masuk ke dalam ghibah (menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudara kita terkait dirinya tanpa sepengetahuan dia).

7. Jangan share foto makhluk bernyawa (hewan dan manusia) kecuali demi kemaslahatan syar’i yang mu’tabar.

8. Jangan asal sebarkan berita kecuali yang telah diklarifikasi kebenarannya dan bermanfaat untuk diketahui orang lain. Tidak semua berita yang tersebar itu benar, dan tidak semua berita yang benar itu pantas disebar. Kalaupun ia pantas disebar, maka tidak semua orang akan mendapat manfaat dari berita itu.

Bahkan boleh jadi bagi sebagian kalangan, sesuatu yang bermanfaat bagi kita akan menimbulkan madharat bagi orang lain karena disalah fahami. Jadi, pilih-pilihlah yang seksama dalam men-sharing sesuatu.

Demikian, wallaahu a’lam.

Konsultasi Bimbingan Islam
Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA

Sabtu, 14 Jumadal Ūla 1438 H / 11 Februari 2017 M

Sumber: http://www.bimbinganislam.com/konsultasi/25-adab-akhlak/725-adab-dalam-berkomunikasi-di-media-sosial

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Click
🌍 BimbinganIslam.com

Like & Share
👥 Facebook Page :
Fb.com/Info.BimbinganIslam
Fb.com/TausiyahBimbinganIslam
Fb.com/BimbinganMuamalahMaaliyah

Join Us
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/TJBiAS
Telegram.me/TausiyahBimbinganIslam
Telegram.me/BimbinganMuamalahMaaliyah
__________

◆ Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di :
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah
🌎 www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
----------------------------------------⁠⁠⁠⁠
BACA SELENGKAPNYA

Jumat, 10 Februari 2017

Larangan Mencela Orang yang Telah Meninggal Dunia


LARANGAN MENCELA ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk pada hadīts yang ke-23, dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الأَمْوَاتِ فَإِنَّهُم قَدْ أَفْضَوا إلَى مَا قَدَّمُوْا
"Janganlah kalian mencaci mayat-mayat, sesungguhnya mereka telah sampai kepada hasil dari amalan yang mereka lakukan di dunia."

(Hadīts riwayat Imām Al Bukhāri nomor 6035, versi Fathul Bari nomor 6516)

Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmatin oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menjadikan kehormatan seorang muslim termasuk dari perkara yang besar diantara kehormatan-kehormatan yang terbesar.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjaga kehormatan seorang muslim atau muslimah.

Oleh karenanya dalam satu hadīts, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala melihat Ka'bah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ،
"Betapa agung engkau wahai Ka'bah, dan betapa agung kehormatanmu, dan orang mu'min memiliki kehormatan yang lebih besar disisi Allāh daripada kehormatanmu, wahai Ka'bah."

(Hadīts Riwayat At Tirmidzi no 2032, dihasankan oleh Syaikh Al Albāniy rahimahullāh dalam shahīh sunan At Tirmidzi 2/391, Maktabah Al-Ma'ārif cet 1/1420H)

⇒ Kita tahu bahwasanya Ka'bah diagungkan, ternyata seorang mu'min kehormatannya lebih agung disisi Allāh dari pada kehormatan Ka'bah.

Dan ternyata Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kehormatan seorang muslim dan muslimah bukan hanya tatkala dia masih hidup, bahkan kehormatannya berlaku dan terus diakui oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla meskipun dia sudah meninggal dunia.

Oleh karenanya kehormatannya bukan hanya dijaga tatkala dia masih hidup, bahkan tatkala dia sudah meninggal dunia lebih ditekankan untuk dijaga lagi kehormatannya.

Oleh karenanya Al Imām Al Bukhāri, meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās radhiyallāhu Ta'āla 'anhuma dimana Ibnu 'Abbās menghadiri penyelenggaraan jenazah Maemunah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā (istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) di suatu tempat namanya Saraf maka Ibnu 'Abbās berkata kepada orang-orang yang akan mengusung jenazah Maemunah:
هذه زوجة النبي صلى الله عليه وسلم فإذا رفعتم نعشها فلا تزعزعوها ولا تزلزلوها وارفقوا
"Ini adalah istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka jika kalian mengangkat kerandanya, maka janganlah kalian mengerak-gerakannya, dan janganlah kalian mengoncang-goncangkannya tetapi angkatlah dengan lembut."

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri no 5067, Muslim no 1465, An Nasāi' no 3196)

Ibnu Hajar rahimahullāh dalam Fathul Bāri' berkata:
يستفاد منه أن حرمة المؤمن بعد الموت باقية، كما كانت في حياته
Sesungguhnya diambil faedah dari hadīts inii, bahwasanya, "Kehormatan seorang mu'min setelah dia meninggal tetap berlaku sebagaimana tatkala dia masih hidup."

Dan juga ada hadīts lain:
إِنَّ كَسْرَ عِظَمِ الْمُؤْمِنِ مَيِّتًا مِثْلَ كَسْرِهِ حَيًّا
"Dan mematahkan (menghancurkan) tulang seorang mu'min tatkala dia sudah meninggal dunia sama dengan tatkala dia masih hidup."

(Hadīts Shahīh Riwayat Abū Dāwūd no 3191, Ibnu Ibnu Mājah I/516 no 1616)

⇒ Ini penjelasan Ibnu Hajar rahimahullāh Ta'āla.

Ini dalīl bahwasanya kehormatan seorang mu'min masih berlaku bahkan tatkala dia sudah meninggal dunia.

Oleh karena itu Ibnu 'Abbās mewasiatkan agar istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam diangkat dengan pelan-pelan, tidak boleh digoncang-goncangkan (digerak-gerakan), karena beliau (Maemunah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā) tetap terhormat meskipun sudah meninggal dunia.

Kemudian, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalīl-dalīl dalam syari'at yang mengharāmkan mencela seorang muslim secara mutlak, tidak ada perbedaan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Contohnya seperti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
"Mencela seorang muslim adalah kefāsikan."

(Hadīts riwayat Muslim no 64 dan Bukhāri no 48,6044,7076 dari hadīts Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu Ta'āla 'anhu)

Syari'at tidak mengatakan, "Kecuali kalau sudah meninggal dunia."

Ini menunjukan bahwasanya syari'at memperhatikan hak seorang muslim tidak membedakan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Tatkala dia sudah meninggal dunia penekanan untuk mengharāmkan pencelaan terhadap seorang muslim lebih ditekankan lagi, karena ada hadīts khusus yang menjelaskan larangan secara khusus bagi mencela seorang muslim yang sedang meninggal dunia, sebagaimana hadīts yang sedang kita jelaskan.

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
لَا تَسُبُّوا الأََموَاتِ فَإِنَّهُم قَد أَفضَوا إِلَى مَا قَدَّموا
"Janganlah kalian mencela mayat-mayat yang sudah meninggal dunia, karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada hasil amalan yang mereka lakukan tatkala didunia."

(Hadīts shahīh Riwayat Bukhāri nomor 1393)

Dan hadīts ini diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan beliau membuat hadīts ini dengan bab Mā yunha min sabil amāt tentang, "Apa yang dilarang dalam mencela mayat-mayat".

Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Hadīts ini menunjukan bahwasanya mencela orang yang sudah meninggal dunia lebih parah hukumnya dari pada mencela orang yang masih hidup.

Karenanya sebagian ulamā menyatakan, kalau orang masih hidup kita cela kemudian sampai celaan kepada orang tersebut, maka orang tersebut, bila ternyata memang orang tersebut bersalah, bisa menperbaiki dirinya.

Karena ada masukan meskipun masukan tersebut datang dalam bentuk celaan maka dia bisa merubah dirinya.

Adapun mayat kalau kita mencela dia, apa faedahnya?

Karena dia sudah meninggal dunia tidak bisa memperbaiki dirinya lagi kalau pun dia bersalah. Karena dia (orang yang meninggal) sudah sampai pada hasilnya (sudah selesai) sudah tidak bisa lagi beramal lagi di dunia.

Kemudian kalau celaan tersebut tidak benar dan sampai kepada orang yang masih hidup maka orang yang masih hidup masih bisa membela diri, jika celaan tersebut tidak benar. Adapun bila orang "sudah" meninggal dunia maka dia tidak bisa membela dirinya.

Oleh karenanya mencela orang yang sudah meninggal hukumnya lebih parah dari pada mencela orang yang masih hidup.

Kita akan lanjutkan pembahasan ini pada pertemuan berikutnya, In syā Allāhu Ta'āla.

Artikel BimbinganIslam.com

Jum'at, 13 Jumadal Ūla 1438 H / 10 Februari 2017 M
Dr. Firanda Andirja, MA

Kitābul Jāmi' - Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
Hadits 23 - Larangan Mencela Orang Yang Telah Meninggal Dunia (Bagian 1 dari 2)

Download audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab04-H23-1
_________

◆ Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di :
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah
🌎 www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
-----------------------------------------⁠⁠⁠⁠
BACA SELENGKAPNYA

Larangan Mencela, Melaknat, dan Berkata Kasar Serta Kotor


LARANGAN MENCELA, MELAKNAT DAN BERKATA KASAR SERTA KOTOR

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk pada hadīts yang ke-22 dari hadīts dari Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu secara marfu', Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَعَّانِ، وَلَا اللَعَّانِ، وَلَا الفَاحِشِ، وَلَا البَذِءِ
"Bukanlah seorang mu'min, orang yang suka mencela, orang yang suka melaknat dan orang yang suka berkata-kata kasar dan juga berkata-kata kotor."

‌(Hadīts ini kata Al Hafizh Ibnu Hajar dihasankan oleh Imām Tirmidzi dan di shahīhkan oleh Al Hakim dan Imām Ad Daruquthi merajīhkan hadīts ini, hadīts yang mauquf)

Hadīts ini diperselisihkan oleh para ulamā. Sebagian ulamā menyatakan hadīts ini marfu' (yaitu) diriwayatkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan sebagian ulamā mengatakan riwayatnya adalah mauquf (artinya) diriwayatkan dari shahābat (yaitu) merupakan perkataan Ibnu Mas'ūd dan bukan perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⇒ Hadīts ini, apakah dia mauquf atau marfu', namun maknanya benar.

Bahwasanya seorang mu'min tidak boleh membiasakan dirinya untuk طَعَّان (mencela orang lain) tetapi hendaknya dia membiasakan dirinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik.

Bukankah Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
"Dan ucapkanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik."

(QS Al Baqarah: 83)

Adapun seseorang yang membiasakan dirinya untuk:

√ Melaknat orang lain,
√ Mencela,
√ Mencari-cari aib orang lain,
√ Menjatuhkan orang lain,
√ Berkata-kata kotor,
√ Berkata-kata kasar.

⇒ Maka ini menunjukan dia bukan mu'min yang sejati, dia tidak sempurna imānnya.

Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata, "Laisalmu'min" (bukanlah mu'min yang sempurna), ini menunjukan imānnya rendah.

Karena imānnya tidak bisa mencegah dia untuk berkata-kata kotor (berkata-kata kasar), berarti imānnya dipermasalahkan.

Oleh karenanya, shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Seorang berusaha membiasakan dirinya untuk berkata-kata yang baik karena lisan ini berbahaya.

Bukankah dalam hadīts yang mashyur dari Mu'ādz bin Jabbal radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata kepada Mu'ādz bin Jabbal:
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
"Tahanlah lisānmu."

Sehingga Mu'ādz bin Jabbal bertanya:
يَا رسولَ الله وإنَّا لَمُؤاخَذُونَ بما نَتَكَلَّمُ بِهِ؟
"Yā Rasūlullāh, apakah kita akan disiksa oleh Allāh, karena ucapan kita?"

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:
وَهَلْ يَكُبُّ الناسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
"Wahai Mu'ādz, bukankah yang menjerumuskan manusia dalam neraka jahannam, menjerumuskan mereka diatas wajah-wajah mereka kecuali akibat dari perbuatan lisān-lisān mereka?"

(Hadīts riwayat Tirmidzi)

⇒ Lisān ini berbahaya maka jangan dibiasakan lisānnya berkata-kata kotor.

Seorang yang bijak pernah berkata:
عود لسانك قول الخير تحظبه، ان السنا لما عودت لا يعتد
"Biasakanlah lisānmu untuk mengucapkan kata-kata yang baik, maka engkau akan meraih hal tersebut (artinya engkau akan terbiasa mengucapkan kata-kata yang baik), karena lisān itu tergantung apa yang engkau biasakan."

Kalau seorang terbiasa (membiasakan) berkata-kata baik, ini bisa dilatih, maka dia akan terbiasa mengucapkan kata-kata yang baik. kalau seseorang biasa menahan dirinya untuk tidak mencela orang lain maka lisānnya akan terbiasa.

Tapi kalau dia biarkan lisānnya, terbiasa untuk mencela, terbiasa merendahkan, terbiasa berkata kotor maka lisānnya akan terbawa kepada hal tersebut.

Sebagian penyair pernah berkata:
احفَظْ لِسانَكَ أَيُّهَا الإِنْسانُ لا يَلْدَغَنَّكَ إِنَّهُ ثُعْبانُ
"Jagalah lisānmu wahai manusia jangan sampai engkau tersengat oleh lisānmu karena lisānmu adalah ular."
كَمْ في المقابِرِ مِنْ قَتيلِ لِسانِهِ كانَتْ تَهابُ لِقَاءَهُ الشُّجعانُ
"Betapa banyak orang dikuburan menjadi korban dari lisānnya padahal sewaktu dia masih hidup dahulu dia ditakuti oleh orang-orang pemberani."

⇒ Artinya, ada orang hebat di dunia, ditakuti oleh orang, ternyata waktu dikuburan dia menjadi korban lisānnya.

Kenapa?

Karena disiksa oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena dia menjadi korban lisānnya sendiri, (dahulu didunia dia suka mencela, suka memaki, suka melaknat).

Oleh karenanya seorang harus berusaha untuk menjaga lisānnya jangan sampai dia menjadi seorang yang suka melaknat dan mencela dan merendahkan orang lain, berkata-kata kotor.

Ini semua dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Wallāhu Ta'āla A'lam bish Shawwab

Artikel BimbinganIslam.com

Kamis, 12 Jumadal Ūla 1438 H / 09 Februari 2017 M
Dr. Firanda Andirja, MA

Kitābul Jāmi' - Bab Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak Buruk
Hadits 22 - Larangan Mencela, Melaknat Dan Berkata Kasar Serta Kotor

Download audio
_________

◆ Mari bersama mengambil peran dalam dakwah...
Dengan menjadi Donatur Rutin Program Dakwah Cinta Sedekah

1. Pembangunan & Pengembangan Rumah Tahfizh
2. Support Radio Dakwah dan Artivisi
3. Membantu Pondok Pesantren Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia

Silakan mendaftar di :
http://cintasedekah.org/ayo-donasi/

Hidup Berkah dengan Cinta Sedekah
🌎 www.cintasedekah.org
👥 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
📺 youtu.be/P8zYPGrLy5Q
-----------------------------------------⁠⁠⁠⁠
BACA SELENGKAPNYA
Privacy Policy      Disclaimer      Sitemap      Contact Us      © 2017  Ekataba
Powered by Blogger